Pelajar SMPN 216 Jakarta |
Survei yang dilakukan Grattan Institute sejak tahun 2005 dan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Australia bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di benua kangguru tersebut. Laporan sementara hasil survei menempatkan pelajar Asia menjadi yang terbaik dengan rasio 3:1, dan hal ini sebenarnya tidaklah mengejutkan jika memperhatikan perkembangan Iptek di negara-negara yang disebut memiliki sistem pendidikan terbaik. Cina misalnya, merangkak naik dari pengimpor teknologi barat dan berhasil mengembangkan teknologinya sendiri yang mampu melakukan ekspansi balik ke negara barat. Produk teknologi Cina - dari padat karya sampai hi-tech - menyebar ke seluruh penjuru dunia dan sukses merebut pasar.
Banyak pihak berpendapat bahwa pengaruh budaya Confucianisme, sistem belajar yang keras, Tiger-mother (sebutan untuk metode 'keras' para ibu di Asia dalam mendidik anak) menjadi faktor penentu keberhasilan para pelajar Asia. Tetapi Grattan Institute menemukan bahwa semua itu bukanlah faktor utama. Penegakan aturan yang tegas, disiplin, pengarahan minat siswa, sistem belajar praktis, mentoring berkelanjutan dan program peningkatan kualitas guru adalah faktor penentu keberhasilan sistem pendidikan yang diterapkan di Shanghai.
Hal yang menarik adalah kesimpulan "mitos" yang menurut peneliti di Grattan Institute telah ikut berperan memandulkan pendidikan di Australia. Berikut adalah "mitos" salah persepsi tentang metode pendidikan dan pengajaran yang sering dilakukan :
1. Waktu belajar yang lebih panjang pasti lebih baik....
Rata-rata waktu belajar siswa sekolah menengah di Shanghai, Korea Selatan dan Jepang adalah 1~1.5 jam di luar jam sekolah. Metode belajar praktis yang ditunjang oleh pengadaan buku berkualitas lebih berperan dibanding lamanya waktu belajar yang cenderung meningkatkan kejenuhan otak. Bahkan sejak 2004, Singapura merevisi total kurikulum tingkat dasar dan menengah dengan mengurangi 35% waktu sekolah dan mengganti dengan program pemberian tugas praktis lapangan yang membuat siswa lebih fun dibanding hanya membaca dan menulis.
2. Memperbanyak PR akan membuat prestasi belajar meningkat.....
Efektifitas dari homework tidak bergantung pada jumlah soal latihan yang harus dikerjakan, tetapi lebih kepada pemilihan model latihan yang membentuk pola pikir siswa terhadap suatu masalah. Satu tugas yang bersifat praktis dan terarah diyakini akan lebih baik dibandingkan menjawab 50 soal dalam satu bab.
3. Jumlah nilai tertinggi adalah yang terbaik.....
Penentuan kualitas belajar berdasarkan jumlah koefisien nilai yang diperoleh hanya akan menghasilkan penguasaan teori tanpa pengalaman belajar yang sesungguhnya. Lebih baik memberi perhatian terhadap perimbanganrasio antara nilai angka dan nilai huruf yang diperoleh daripada mencoba meningkatkan koefisien nilai per mata pelajaran.
4. Banyaknya siswa dalam satu kelas akan mempengaruhi daya serap.....
Pemikiran seperti ini memicu munculnya lembaga pendidikan eksklusif dengan program belajar super ketat yang pada akhirnya membatasi kemampuan siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan rekan-rekan sebayanya. Faktor fun yang seharusnya menjadi stimulan utama dalam belajar akan semakin menghilang dan berubah menjadi kewajiban tanpa jeda. Di Shanghai rata-rata per kelas dihuni 40 siswa, tetapi otoritas pendidikan lebih memperhatikan bagaimana menciptakan suasana yang bisa mendorong siswa untuk ingin terus belajar tanpa adanya faktor keharusan.
5. Status eksklusif berkorelasi dengan kualitas.....
Ini mengingatkan kita dengan munculnya sekolah berkualifikasi SSN dan RSBI di Indonesia yang seperti jamur di musim hujan. Peningkatan level kualifikasi suatu sekolah berkorelasi dengan biaya operasional yang semakin tinggi. Faktanya, Australia dengan anggaran pendidikan 5X lipat tidak mampu menyamai kualitas pendidikan di Korea Selatan yang minim anggaran. Mengambil contoh dari Korea Selatan, Australia menetapkan dynamic grade dimana level kualifikasi suatu sekolah menengah bisa naik-turun berdasarkan prestasi akademik peserta didiknya. Tidak adanya jaminan bahwa sekolah terbaik tahun ini akan tetap menjadi terbaik di tahun berikutnya akhirnya mencegah terkonsentrasinya siswa di satu sekolah tertentu, karena sekolah yang bersangkutan harus memperketat seleksinya. Hal ini hanya diterapkan di sekolah tingkat SMA, sementara SMP masih bersifat umum tanpa embel-embel status Internasional.
6. Durasi berpengaruh terhadap kualitas.....
Dengan pemikiran seperti ini banyak sekolah memperpanjang waktu belajar hingga mencapai 10 jam per hari, sehingga kegiatan siswa didik lebih mirip pegawai kantor. Wajar jika ini terjadi di negara yang mengalami 4 musim karena waktu libur mereka lebih banyak, jadi intensifikasi dilakukan selama kurun waktu yang tersedia. Tapi menjadi tidak wajar jika diterapkan di negara tropis dimana lebih banyak hari bisa dimanfaatkan. Singapura harus merevisi total kurikulum semacam ini setelah mengalami kejadian pahit : 6 siswa sekolah dasar diketahui bunuh diri karena stress akibat waktu bermain dan interaksi mereka tersita oleh kegiatan sekolah yang berlangsung dari jam 06.30 sampai jam 16.00, belum termasuk kursus dan pekerjaan rumah yang memaksa anak-anak SD baru bisa tidur lewat tengah malam. Intensifikasi materi dan metode pembelajaran jauh lebih baik dan bermanfaat langsung dibandingkan ekstensifikasi waktu belajar.
Beberapa negara Asia berhasil membuktikan bahwa mereka bisa menghasilkan siswa-siswa berprestasi tanpa harus menggunakan paksaan, menyita waktu untuk bersosialisasi dan tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi. Faktanya, saat ini merekalah yang terbaik bahkan dibanding negara-negara barat yang memiliki banyak sekolah favorit yang menjadi kiblat pendidikan dunia. Jadi bukanlah hal yang masuk akal kalau otoritas dan elemen penyelenggara pendidikan di Indonesia justru menerapkan cara yang sudah ditinggalkan oleh negara-negara yang memiliki sistem pendidikan lebih baik.
Dituntut bukan hanya sebuah kebijakan, tetapi kebijaksanaan untuk belajar dari yang terbaik...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar